Perjanjian Kawin

Perjanjian Kawin belum terlalu sering dilakukan oleh masyarakat kita yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Seringkali sebagai pasangan yang hendak menikah merasa sungkan untuk membuat perjanjian kawin sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Perjanjian Kawin yang dimaksud adalah perjanjian yang diadakan oleh calon suami dan isteri untuk mengatur akibat-akibat dari perkawinan yang akan mereka langsungkan terhadap harta masing-masing.

Perjanjian Kawin dulu diatur dalam pasal 119 BW/KUHPerdata, namun kini telah berlaku UU Perkawinan No.1 tahun 1974. Kedua Undang-undang ini mempunyai pendekatan asas yang berbeda mengenai harta dalam perkawinan. BW mengatur “azas percampuran bulat” sebagaimana dinyatakan dalam pasal 119, yang berarti bahwa kekayaan suami istri yang dibawanya ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu menjadi harta persatuan, harta kekayaan mereka bersama.

Bila mereka bercerai (meskipun baru 1 bulan menikah), maka kekayaan mereka itu harus dibagi 2, masing-masing ½ bagian. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 (UUP) yang mengikuti Pola Hukum Adat sebaliknya menganut “azas perpisahan harta” sebagaimana tercermin dalam pasal 35, yang menentukan bahwa harta yang dibawa oleh masing-masing suami-istri (harta bawaan) tetap menjadi milik masing-masing, yang dicampur menjadi satu hanyalah harta yang diperoleh dari usaha bersama selama pernikahan (=gono gini, guna kaya). Meskipun dalam SE Mahkamah Agung tanggal 20-8-1975, diumumkan bahwa dari UU 1/74 yang sudah ada, yang baru diperlakukan adalah peraturan tentang syarat-syarat dan tata cara untuk perkawinan, namun karena peraturan mengenai harta perkawinan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan dan juga tidak disebutkan dalam PP 9/1975 tentang pelaksanaan UU 1/1974, maka peraturan ini (pasal 35 UU 1/1974) sudah dianggap berlaku untuk semua pernikahan. (Prof. Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, 1990).

Sebenarnya perjanjian kawin perlu juga dibuat dalam rangka antisipasi jika terjadi hal-halyang tidak diinginkan dalam perkawinan, antara lain Perceraian, hutang piutang dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh Suami/isteri.

Berdasarkan pasal 119 BW dan pasal 29 UUP No.1 Tahun 1974 kedua asas itu bisa dilakukan penyimpangan, dengan membuat Perjanjian Kawin.

Perjanjian Kawin harus dibuat dengan suatu akta notaris sebelum waktu dilangsungkannya perkawinan, untuk kemudian didaftarkan ke Pengadilan negeri setempat.

KAPAN MULAI BERLAKU: Perjanjian itu mulai efektif berlaku bagi pasangan suami istri setelah dilangsungkannya perkawinan, sedangkan untuk pihak ketiga baru berlaku mulai hari pendaftannya di Pengadilan Negeri. Bila perkawinan dilangsungkan pada hari yang sama dengan dibuatnya Perjanjian Kawin, maka harus dibuat jamnya.  BISAKAH PERJANJIAN KAWIN DIRUBAH SELAMA PERKAWINAN ?

BW              : tidak boleh (pasal 149 BW);

UU 1/ 1974   : boleh, asal tidak merugikan pihak ketiga. (pasal 29 ayat 4).

 

HARUS DIIKUTI DENGAN PERKAWINAN. Perjanjian Kawin tidak akan berlaku jika tidak diikuti dengan perkawinan (154 BW).

KECAKAPAN MEMBUAT PERJANJIAN KAWIN. Yang dapat membut Perjanjian Kawin adalah mereka yang mempunyai syarat untuk menikah pada waktu perjanjian itu dibuat (pasal 7 UU 1/1974: pria 19 tahun, wanita 16 tahun) dan yang berada di bawah pengampuan harus dibantu oleh mereka yang diperlukan ijinnya untuk melangsungkan pernikahan (151 dan 151 BW). ISI PERJANJIAN KAWIN. Isi Perjanjian Kawin terserah kepada dua belah pihak, asal saja tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dan selain itu juga tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 140, 142 dan 143 BW. Isi dari Perjanjian Kawin yang dilarang adalah:

  1. Mengurangi hak suami baik sebagai suami maupun sebagai kepala (persatuan) rumah tangga. (140.1 BW)
  2. Menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan sebagai orang tua (140.1 BW).
  3. Mengurangi hak-hak yang diperlukan UU kepada yang hidup terlama (140.1 BW).
  4. Melepaskan haknya sebagai ahliwaris menurut hukum dalam warisan anak-anaknya atau keturunannya

(141).

  1. Menetapkan bahwa salah satu pihak menanggung hutang lebih banyak dari pada bagiannya dalam

keuntungan (142 BW). (Bila hal ini dilanggar maka apa yang diperjanjikan itu dianggap sebagai tidak

tertulis, sehingga masing-masing akan menerima ½ bagian dari keuntungan dan memikul ½ bagian dari

kerugian).  KEKUASAAN SUAMI. Suami adalah kepala persatuan rumah tangga dan mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya (pasal 105 BW). Tanpa adanya Perjanjian Kawin, maka terjadilah persekutuan harta antara suami-istri, dengan suami memegang kekuasaan sebagai suami dan sebagai kepala persekutuan rumah tangga.  Meskipun demikian, dan kendati dikehendaki adanya persatuan harta, dengan suatu Perjanjian Kawin dapat diadakan penyimpangan untuk “mengurangi” kekuasaan suami tersebut, sehingga istri dalam hal harta benda perkawinan mempunyai lebih besar kekuasaan/ kebebasan. Dalam hal tersebut dapat diadakan 2 penyimpangan:

  1. Pasal 140 ayat 2 BW. Yaitu dapat diperjanjikan bahwa si istri akan tetap mengurus harta bendanya sendiri

baik bergerak maupun tidak bergerak, dan menikmati sendiri segala pendapatan pribadinya. (d.h.i : hanya

tindakan pengurusan, bukan tindakan pemilikan).

  1. Pasal 140 ayat 3 BW. Yaitu bahwa barang-barang tidak bergerak, surat berharga serta piutang atas nama yang

tercatat atas nama istri, baik yang dibawa pada waktu perkawinan maupun yang dimasukkannya  selama

perkawinan, tidak boleh dibebani atau dipindah tangankan oleh suami tanpa sepengetahuan istri.

BEBERAPA MACAM PERJANJIAN KAWIN:

  1. Dimana tidak terdapat persekutuan harta benda menurut UU:

PERJANJIAN KAWIN DI LUAR PERSEKUTUAN HARTA BENDA.Disini, antara suami istri diperjanjikan tidak adanya persekutuan harta benda sama sekali. Jadi bukan hanya tidak ada persekutuan harta benda munurut UU, tapi juga persekutuan Untung dan Rugi, Persekutuan hasil dan pendapatan serta percampuran apapun dengan tegas ditiadakan. PERJANJIAN KAWIN PERSEKUTUAN HASIL DAN PENDAPATAN (164 BW).Disini, hanya diperjanjikan adanya persekutuan hasil dan pendapat saja, sedangkan persekutuan harta menurut UU tidak ada, hanya untung yang dibagi, kalau rugi, istri hanya turut memikul hingga bagiannya dalam keuntungan, terhadap kerugian selebihnya, istri tidak dapat dituntut. PERJANJIAN KAWIN PERSEKUTUAN UNTUNG DAN RUGI (155 BW).Juga di sini, hanya diperjanjikan adanya persekutuan untung dan rugi saja, sedangkan persekutuan menurut UU tidak ada. Jika dalam Perjanjian Kawin disebut “Di luar Persekutuan Harta” titik maka itu ada persekutuan untung dan rugi. Jika bila dikehendaki juga tidak adanya persekutuan untung dan rugi, maka harus dengan tegas hal itu disebutkan (dalam pasal 1-nya). PERJANJIAN KAWIN DI LUAR PERSEKUTUAN HARTA BENDA.Pasal 139 BW, pasal 29 KUP. Dalam Perjanjian Kawin tidaklah cukup kalau hanya disebut “Perjanjian Kawin di luar Persekutuan” saja, tetapi harus juga dengan tegas disebut tidak ada persekutuan untung dan rugi, jika memang itu dikehendaki.Jika tidak disebut begitu, maka berarti ada persekutuan untung dan rugi (pasal 144 BW).
Dalam Perjanjian Kawin dengan modal ini maka:
1.   Tidak ada Persekutuan dalam bentuk apapun juga.
2.   Harta masing-masing tetap milik masing-masing.
3.   Istri berhak mengurus hartanya sendiri serta bebas memungut hasilnya, tidak perlu bantuan suaminya.
4.   Hutang masing-masing juga menjadi tanggungan masing-masing.
5.   Biaya rumah tangga dan lain-lain menjadi tanggungan suami.
6.   Perabot rumah tangga dan lain-lain milik pihak istri.
7.   Pakaian, perhiasan, buku, perkakas dan alat-alat yang berkenaan dengan pendidikan/ pekerjaan masing-masing adalah milik pihak yang dianggap menggunakan barang itu.
8.   Barang bergerak lain yang karena hibah, warisan atau jalan lain selama perkawinan jatuh pada salah satu pihak, harus dapat dibuktikan asal usulnya.

  1. Dimana ada persekutuan harta benda menurut UU, tetapi (oleh istri) dikehendaki adanya penyimpangan.
  2. Perjanjian Kawin dengan diperjanjikan pasal 140 ayat 2 BW.

 

  1. Perjanjian Kawin dengan diperjanjikan pasal 140 ayat 3 BW.

Leave a Reply